Oleh : Prabowo Pamungkas
Kepala Advokasi LBH Bandar Lampung
Lampung Tengah – Pernyataan Kapolres Lampung Tengah yang menyebut telah mengantongi nama “provokator” dalam aksi penanaman masyarakat tiga kampung di Kecamatan Anak Tuha pada 17 Agustus 2025 adalah bentuk nyata upaya negara mengalihkan isu dari pokok persoalan yang sebenarnya. Alih-alih menyelesaikan akar konflik agraria yang sudah berlarut selama puluhan tahun, aparat justru menebar stigma “provokator” dan memposisikan rakyat seolah-olah hanya ditunggangi segelintir kepentingan.
Padahal, aksi penanaman yang dilakukan warga adalah bentuk ekspresi perjuangan untuk merebut kembali ruang hidup yang telah dirampas oleh korporasi. Tuduhan adanya “provokator” adalah cara klasik negara untuk menutup mata dari sejarah panjang konflik agraria dengan PT BSA, yang telah merampas hak ribuan keluarga petani di Anak Tuha.
Sikap aparat ini menunjukkan watak penegak hukum yang lebih sibuk melayani kepentingan modal daripada mengayomi rakyat. Ironis, laporan perusahaan pada 17 Agustus 2025 langsung dinaikkan ke tahap penyidikan hanya dalam hitungan jam.
Surat panggilan terhadap 8 warga bahkan sudah tiba di rumah sore harinya. Sementara itu, berdasarkan catatan LBH Bandar Lampung, terdapat sedikitnya 10 laporan rakyat di wilayah hukum Polda Lampung yang sudah berbulan-bulan hingga bertahun-tahun tanpa kepastian. Ini adalah bukti nyata betapa timpangnya hukum bekerja: laporan perusahaan dikebut, laporan rakyat dibiarkan.
Lebih jauh, langkah cepat kepolisian justru menabrak aturan. Jika mengacu pada Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan, semestinya ada tahap penyelidikan untuk memastikan peristiwa yang dilaporkan benar merupakan tindak pidana.
Dalam kasus Anak Tuha, tidak ada proses penyelidikan, bahkan tidak ada peristiwa tertangkap tangan. Pertanyaannya: mengapa laporan langsung dinaikkan ke penyidikan, dan mengapa aparat tidak langsung menangkap ratusan warga jika aksi itu memang dianggap tindak pidana?
Bagi kami, YLBHI–LBH Bandar Lampung, konflik di Anak Tuha bukan perkara pidana, melainkan konflik struktural agraria. Warga tiga kampung berhak atas tanah yang sejak lama mereka garap dan warisi dari leluhur. Segala bentuk kriminalisasi, baik melalui stigmatisasi “provokator”, pemanggilan, intimidasi, hingga penangkapan, adalah pelanggaran hak asasi manusia sekaligus perampasan ruang hidup rakyat.
Kami menegaskan, penyelesaian konflik agraria harus ditempuh melalui dialog yang adil, bukan represi dan kriminalisasi. Negara tidak boleh tunduk pada kepentingan bisnis perkebunan dengan mengorbankan rakyat kecil. Hak atas tanah adalah hak hidup; merampasnya berarti merampas masa depan bangsa. (*)