Bandar Lampung – Pernyataan arogan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, saat menanggapi pemberitaan media, menuai sorotan tajam. Thomas bahkan mengancam wartawan yang mencoba melakukan konfirmasi melalui sambungan WhatsApp.
Thomas mengaku tersinggung dengan pemberitaan Indonesia Investigasi tanggal 18 Agustus 2025 yang menyinggung dugaan penyimpangan proyek di lingkungan Dinas Pendidikan.
“Saya merasa tersinggung dan itu berita menuduh saya melakukan korupsi. Kamu saya laporkan, kamu kok nuduh saya korupsi. Bisa dilihat tahun berapa kejadiannya,” ujar Thomas dalam pesan WhatsApp kepada wartawan, Senin (19/8/2025).
Padahal, sesuai kaidah jurnalistik, wartawan telah melakukan upaya konfirmasi langsung kepada sumber berita.
Sikap Thomas ini mendapat kritik keras dari Emil Salim, aktivis Jaringan Lampung Merakyat (Jilmek). Menurutnya, ancaman terhadap wartawan justru mencederai semangat keterbukaan informasi dan mencerminkan arogansi pejabat publik.
“Seorang pejabat publik seharusnya bijak dan tidak tantrum ketika dikritik lewat pemberitaan. UU Pers sudah jelas mengatur mekanisme bila merasa dirugikan, yakni dengan hak jawab dan hak koreksi. Bukan malah mengancam wartawan,” tegas Emil Salim.
Emil menegaskan, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik mengatur bahwa keberatan atas pemberitaan dapat ditempuh melalui jalur hak jawab atau hak korektif.
“Yang dikritisi media itu bukan pribadi Thomas, melainkan jabatannya sebagai Kadis Pendidikan. Apalagi menyangkut proyek tahun 2024 yang diduga bermasalah dan menggunakan uang rakyat. Jadi sangat wajar jika publik melalui media mengawasi,” tambah Emil.
Ancaman yang dilontarkan Thomas, kata Emil, dapat ditafsirkan sebagai bentuk pembungkaman kebebasan pers. Padahal, kebebasan pers merupakan pilar penting demokrasi dan dijamin konstitusi.
“Media menjalankan fungsi kontrol sosial. Jika setiap kritik dijawab dengan ancaman, maka yang terancam bukan hanya wartawan, tapi juga kepentingan publik,” pungkasnya.(*)