PRINGSEWU — Di awal tahun anggaran 2025, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Pringsewu kembali jadi sorotan. Lembaga yang semestinya menjadi motor perencanaan justru menganggarkan tiga paket jasa konsultasi dengan total fantastis mencapai Rp400 juta, tanpa penjelasan jelas manfaatnya bagi masyarakat.
Data dari laman resmi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) menunjukkan, ketiga kegiatan itu seluruhnya menggunakan judul identik: “Belanja Jasa Konsultasi Berorientasi Layanan, Jasa Studi Penelitian dan Bantuan Teknik.”
Masing-masing paket tercatat bernilai Rp100 juta, Rp100 juta, dan Rp200 juta, seluruhnya bersumber dari APBD Pringsewu 2025 dan dilaksanakan pada bulan Januari dengan metode pengadaan langsung.
Ironisnya, hingga kini tidak ada keterangan publik dari Bappeda tentang apa isi studi tersebut, siapa konsultan pelaksana, serta bagaimana hasilnya akan digunakan.
Tiga kegiatan dengan nama yang sama, dilaksanakan di waktu yang sama, dan menggunakan mekanisme yang sama menimbulkan tanda tanya besar.
Apakah ini kegiatan yang benar-benar berbeda, atau hanya “duplikasi proyek” untuk menghabiskan anggaran.
Praktik seperti ini patut dicurigai sebagai pola pembelanjaan berulang tanpa output nyata, yang kerap menjadi ladang empuk bagi pihak-pihak tertentu di balik meja perencanaan.
“Kalau tiga paket sekaligus isinya mirip dan tanpa penjelasan hasil, publik wajar curiga ini cuma proyek akal-akalan,” ujar salah satu pemerhati kebijakan publik di Pringsewu yang enggan disebutkan namanya, Senin (6/10/25).
Sebagai lembaga yang seharusnya mengawal efisiensi dan efektivitas pembangunan, Bappeda justru memperlihatkan ironi. Alih-alih merancang kebijakan berbasis data, anggaran ratusan juta malah dihabiskan untuk “konsultasi” yang hasilnya tak pernah dipublikasikan.
Lebih jauh, penggunaan skema pengadaan langsung untuk tiga paket serupa dengan total Rp400 juta juga menimbulkan dugaan “pecah paket” trik klasik agar proyek tak perlu dilelang terbuka dan bisa diarahkan ke pihak tertentu.
Jika benar demikian, ini bukan sekadar persoalan teknis pengadaan, melainkan indikasi penyalahgunaan pola belanja publik yang menabrak semangat transparansi dan akuntabilitas anggaran daerah.
Sampai berita ini diterbitkan, Imam Fakuroji Kepala Bappeda Kabupaten Pringsewu bungkam. Tak ada satu pun pejabat yang memberikan penjelasan resmi soal detail kegiatan, konsultan pelaksana, maupun target hasil yang dijanjikan.
Publik kini menunggu, apakah Rp400 juta uang rakyat itu benar-benar menghasilkan kajian pembangunan, atau sekadar laporan “copy-paste” yang berakhir di lemari arsip Bappeda. (Redaksi)