JAKARTA – Indonesia diguncang skandal besar. Sebuah bandara ilegal beroperasi bertahun-tahun di jantung kawasan industri raksasa PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), tanpa bea cukai, tanpa imigrasi, tanpa otoritas negara sedikit pun.
Temuan ini bukan hanya memalukan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana negara bisa “hilang” dari wilayah strategis yang menyedot ratusan triliun rupiah sumber daya tambang.
Peringatan paling keras datang dari Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin yang menegaskan, “Tidak boleh ada Republik di dalam Republik!”
Pernyataan ini menjadi sinyal bahwa pemerintah pusat telah mencium kejanggalan yang selama bertahun-tahun dibiarkan.
Ketua Umum Ikatan Wartawan Online (IWO), Teuku Yudhistira, menilai keberadaan bandara ilegal IMIP bukanlah kejutan besar.
Menurutnya, apa yang terjadi di Morowali sudah lama “diperingatkan” oleh banyak pihak, termasuk oleh Presiden Prabowo Subianto sendiri saat kontestasi Pilpres 2019.
“Pak Prabowo tidak mungkin bicara kebocoran pendapatan negara tanpa data kuat. Tapi saat itu tekanannya besar, sehingga ruang geraknya terbatas,” ujar Yudhistira, Selasa (25/11/2025).
Ia menyebut bandara IMIP sebagai ancaman nyata terhadap kedaulatan.
“Saya yakin Presiden Prabowo akan menutup bandara ini. Ini ancaman yang tidak bisa ditoleransi.”
Lebih mengejutkan, investigasi IWO menemukan indikasi adanya pejabat tinggi negara di lingkar Executive yang memiliki saham dalam IMIP.
“Kalau ini benar, negara harus tegas. Presiden harus perintahkan polisi, jaksa, BIN, BAIS hingga KPK menelusuri siapa pejabat yang bermain,” tegas Yudhistira.
Skandal ini dianggap IWO sebagai puncak gunung es dari bisnis gelap yang melibatkan kekuatan finansial besar dan jaringan kekuasaan.
Absennya negara di bandara IMIP membuka ruang tanpa batas bagi berbagai kejahatan.
Yudhistira menyebut, peredaran narkoba di Morowali kini jauh lebih masif, potensi perdagangan orang (TPPO) sangat tinggi, arus orang dan barang keluar masuk bebas tanpa pemeriksaan.
“Semua pintu kejahatan terbuka lebar. Ini harus jadi perhatian BNN, Imigrasi, Polri, dan Bea Cukai.”
Kepemilikan IMIP yakni, Shanghai Decent Investment Group – 49,69%, PT Sulawesi Mining Investment – 25%, PT Bintang Delapan Investama – 25,31%
IMIP merupakan hasil kerjasama Tsingshan Steel Group (Tiongkok) dan Bintang Delapan Group.
Dengan komposisi kepemilikan seperti itu, kontrol negara seharusnya justru lebih ketat, bukan sebaliknya.
Setelah menyaksikan Latihan Terintegrasi TNI 2025 di Morowali, Sjafrie mengatakan bandara IMIP tidak memiliki bea cukai maupun imigrasi.
“Ini anomali. Bandara tanpa perangkat negara adalah kerawanan kedaulatan ekonomi.”
Ia menegaskan akan melaporkan temuan ini langsung kepada Presiden Prabowo.
Peneliti Indonesia Strategic and Defense Studies (ISDS), Edna Caroline, menyebut bandara IMIP telah beroperasi sejak diresmikan Presiden Jokowi pada 2019, tanpa satu pun otoritas negara yang ditempatkan di sana.
Dalam kanal YouTube Forum Keadilan TV, Edna memaparkan, “Orang dan barang bisa keluar masuk tanpa diketahui negara. Bahkan aparat keamanan pun sulit masuk. Ini wilayah tertutup.”
Ia mengungkap latihan TNI di Morowali adalah latihan perebutan pangkalan udara indikasi bahwa pemerintah serius memetakan ancaman.
Edna mendesak publik ikut mengawal proses penegakan hukum, “Harus ada Bea Cukai, Imigrasi, AirNav. Masa pesawat mondar-mandir tanpa diketahui negara?”
Ia juga mempertanyakan siapa yang memberi izin bandara sejak awal, dan kenapa negara diam selama enam tahun.
Kasus bandara ilegal IMIP kini menjadi ujian besar pemerintah, Apakah negara mampu menguasai kembali ruang udara dan wilayah industri strategis. Siapa pejabat tinggi yang diduga ikut menikmati keuntungan. Apa saja kejahatan yang sudah dibiarkan terjadi selama bertahun-tahun. Mengapa tidak ada aparat negara yang ditempatkan sejak 2019.
Publik kini menuntut jawaban tegas dari pemerintah. Skandal ini bukan lagi soal bandara ini tentang kedaulatan Indonesia. (Redaksi)

