Pringsewu — Program nasional Makanan Bergizi Gratis (MBG) mulai berjalan di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Pringsewu. Dapur-dapur MBG kini berdiri di sejumlah titik sebagai pusat penyedia makanan sehat bagi peserta program.
Namun di balik semangat pelaksanaan program tersebut, muncul sorotan penting pengelolaan limbah dapur MBG. Aktivitas memasak dalam jumlah besar setiap hari tentu menghasilkan limbah cair, sisa bahan makanan, dan minyak bekas yang berpotensi mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.
“Harusnya sebelum dapur beroperasi, sudah ada kajian lingkungan sederhana. Minimal ada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau sistem pembuangan yang memenuhi standar,” ujar pemerhati lingkungan di Pringsewu, Sabtu (1/11/25).
Ia menilai, pemerintah daerah jangan hanya fokus pada capaian program, tetapi juga wajib memastikan aspek kebersihan dan keberlanjutan lingkungan.
“Jangan sampai niat baik memberi gizi sehat justru menimbulkan masalah baru berupa pencemaran air atau bau tak sedap dari limbah dapur,” tegasnya.
Kepala DLH Kabupaten Pringsewu, Dr. Ulin Noha, M.Kes, menjelaskan bahwa pihaknya memiliki peran utama dalam pengawasan dan pendataan terkait pengelolaan limbah serta aspek lingkungan di dapur MBG.
“Kami memastikan operasional dapur MBG tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, terutama terkait pengelolaan limbah cair dan padat. Ketaatan terhadap standar lingkungan menjadi hal wajib, termasuk keberadaan IPAL yang berfungsi baik,” jelas Ulin Noha.
DLH juga telah membentuk Tim Pengendalian Dampak Lingkungan yang bekerja sama dengan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai pengelola dapur MBG. Tim ini bertugas melakukan pendampingan, pengawasan limbah cair dan domestik, serta pendataan dokumen lingkungan seperti SPPL dan UKL-UPL.
“Hingga saat ini, sebanyak 28 dapur MBG telah terdata dan masuk dalam program pengawasan berkala kami,” ungkapnya.
Lebih lanjut, DLH mengakui bahwa belum semua dapur MBG di Pringsewu memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sesuai standar untuk kegiatan berskala besar.
Untuk dapur yang beroperasi di fasilitas publik seperti sekolah atau kantor dengan sistem septik komunal, pengolahan limbah cair sementara disalurkan ke sistem tersebut.
Sementara itu, bagi dapur yang beroperasi secara mandiri, DLH telah memberikan arahan wajib membangun saluran peresapan lemak (grease trap) sebagai langkah awal sambil menunggu pembangunan IPAL sederhana yang sesuai standar teknis.
Dalam pengelolaan limbah padat, DLH mendorong dapur MBG untuk menerapkan ekonomi sirkular. Sisa makanan organik diarahkan untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak melalui kerja sama dengan peternak lokal, atau diolah menjadi kompos dan pupuk cair, sehingga mengurangi timbunan sampah yang dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
DLH juga melakukan Inspeksi Lingkungan Awal (ILA) di sejumlah dapur MBG sebelum beroperasi. Namun demikian, diakui bahwa sebagian besar SPPG belum memiliki dokumen lingkungan (SPPL).
“Setiap pengelola dapur MBG wajib memiliki Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL), sesuai regulasi perizinan yang berlaku,” tegas Ulin Noha.
Kriteria kebersihan yang menjadi fokus DLH meliputi sumber air bersih yang memadai, saluran limbah tertutup, serta tempat pemilahan sampah organik dan anorganik.
DLH Pringsewu menegaskan akan menindak tegas jika ditemukan dapur MBG yang belum memenuhi ketentuan pengelolaan limbah.
Langkah yang diambil mencakup:
1. Peringatan tertulis (SP I) dengan batas waktu maksimal 7–14 hari untuk memperbaiki sistem pengelolaan limbah.
2. Pembinaan teknis dan pelatihan sederhana tentang pembuatan IPAL dan pengolahan limbah organik.
3. Jika tidak dipatuhi, DLH akan merekomendasikan sanksi administratif berupa penundaan atau penghentian sementara operasional dapur MBG yang bersangkutan.
DLH Pastikan Komitmen Lingkungan Sejalan dengan Program Nasional.
“Kami terus berkoordinasi dengan semua pihak agar pelaksanaan program MBG di Pringsewu berjalan sukses sekaligus berkelanjutan dari sisi lingkungan. Kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan harus berjalan seiring,” tutup Dr. Ulin Noha. (Redaksi).

