“Monica Monalisa dan Tafsir Ajaib Tentang ‘Membagikan Berita’”

BERITA TERKINI Daerah LAMPUNG Pringsewu

PRINGSEWU — Di negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan pers, rupanya masih ada yang gagap membedakan antara status pribadi dan produk jurnalistik.

Adalah Monica Monalisa, jurnalis dari Ikatan Wartawan Online (IWO) Pringsewu, yang kini harus menerima “kejutan tak terduga” berupa laporan polisi hanya karena membagikan tautan berita resmi di media sosialnya.

Tentu, kita mafhum bahwa tak semua orang paham kerja jurnalistik. Namun yang cukup menggelitik adalah, bagaimana sebagian media online justru memosisikan diri sebagai tukang sebar “breaking news” tanpa memastikan bahwa narasumber utama dalam hal ini Monica pernah dihubungi, didengar, atau minimal dikonfirmasi. Tapi memang, konfirmasi tampaknya kini dianggap barang mewah dalam industri media yang lebih doyan klik daripada etika.

Monica sendiri mengaku mengetahui dirinya dilaporkan ke Polda Lampung bukan dari penyidik, melainkan dari berita media online yang justru tak pernah mewawancarainya. Ibarat kata, belum sempat bersin, sudah divonis kena flu berat. Hebat sekali kecepatan simpul logika media zaman sekarang.

Satu hal yang patut kita garis bawahi yaitu, apa yang dibagikan Monica bukan hoaks, bukan fitnah, dan bukan pula ujaran kebencian. Ia hanya membagikan link berita dari media resmi yang notabene telah melalui proses redaksional dan etika pers.

Namun entah kenapa, bagi sebagian pihak, aktivitas itu cukup layak dijadikan dasar laporan UU ITE. Mungkin memang di zaman sekarang, membagikan berita bisa dianggap lebih berbahaya daripada menyebar promosi diskon palsu.

“Saya hanya membagikan link berita yang ditulis berdasarkan peliputan jurnalistik. Tidak ada unsur hoaks, fitnah, atau ujaran kebencian,” jelas Monica. Dan kami percaya, karena kalimat itu lahir dari nalar, bukan dari asumsi.

Sayangnya, alih-alih mengajukan hak jawab atau mengklarifikasi melalui jalur Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU Pers, pihak pelapor malah memilih jalur pidana. Sebuah langkah yang, dengan segala hormat, terasa agak kurang elegan dalam menyikapi sebuah ketidaknyamanan terhadap pemberitaan.

Yang lebih menarik adalah reaksi beberapa media online yang justru menyambut laporan itu seperti acara launching produk terbaru. Mereka menulis berita penuh semangat tanpa sempat menanyakan satu hal mendasar: sudahkah Monica dimintai tanggapan?

Apakah ini bentuk baru dari “jurnalisme cepat saji”? Mungkin. Tapi sayang, bukan cepat karena presisi, melainkan cepat karena buru-buru tayang demi trafik. Lalu jika seorang jurnalis bisa diberitakan tanpa konfirmasi, bayangkan bagaimana nasib narasumber biasa?

Ketua IWO Pringsewu, Ahmad Fijayuddin, menegaskan bahwa Monica menjalankan tugas jurnalistik secara profesional. Ia juga mengingatkan agar pihak kepolisian tidak terlalu mudah terjebak pada tafsir sempit tentang peran jurnalis.

“Sengketa berita seharusnya diselesaikan lewat Dewan Pers, bukan melalui jalur pidana,” katanya. Dan kami sepakat—sebab inilah logika demokrasi: pers tidak boleh dibungkam hanya karena tidak menyenangkan.

Tak semua ketidaknyamanan harus berujung laporan pidana. Ada kanal-kanal yang disediakan negara, tinggal digunakan dengan kepala dingin dan niat baik.

Untuk media online yang terlalu semangat memberitakan: sesekali, ingatlah bahwa kerja jurnalistik bukan lomba cepat-cepatan tayang. Kalau tak sempat konfirmasi, lebih baik tahan dulu judulnya. Tak semua hal harus viral, apalagi kalau hasilnya malah mempermalukan logika. ( Red )