TANGGAMUS — Rasa frustrasi ratusan kepala desa di Kabupaten Tanggamus akhirnya memuncak. Dipimpin Ketua DPC Apdesi Tanggamus Mirza YB, rombongan pengurus Apdesi tancap gas menuju Jakarta pada Minggu (7/12/2025). Mereka membawa satu pesan tegas: tolak PMK Nomor 81 Tahun 2025 yang telah membuat desa-desa tercekik secara anggaran.
Sebelum berangkat, pengurus Apdesi Tanggamus menggelar konsolidasi di Rest Area Pugung, mematangkan strategi menjelang aksi damai nasional bersama DPP Apdesi. Semua aspirasi akan langsung ditujukan ke Presiden Prabowo Subianto, karena mereka menilai dampak PMK 81 tak lagi sebatas teknis, tetapi sudah menyangkut nasib pelayanan publik di desa.
Mirza tak menutupi keresahan desa-desa. Ia menyebut kondisi saat ini sebagai “keterpurukan yang diproduksi oleh aturan baru.”
Dana Desa Non Ear Mark tahap II macet total, membuat ratusan pekon tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar operasional. Insentif Perangkat desa, Linmas, RT, RW, Kadus, sopir ambulans, penjaga makam, dan penjaga malam sudah enam bulan tidak dibayar. Pembangunan desa yang mengandalkan dana tersebut ikut terhenti.
Menurut Mirza, semuanya bermula dari Pasal 29B PMK 81/2025 yang secara sepihak menghentikan penyaluran Dana Desa Non Ear Mark tahap II per 17 September 2025. Ia menyebut kebijakan itu “meninggalkan kepala pekon sebagai tameng menghadapi kemarahan masyarakat”.
Data resmi DPMD Tanggamus per 5 Desember 2025 menunjukkan situasi yang tidak main-main. Sudah terima Non Ear Mark tahap II: 132. Belum menerima, 167 pekon lebih dari separuh desa, Untuk Ear Mark: 287 pekon sudah cair, 12 masih menunggu.
Artinya, ratusan desa berjalan tanpa bensin anggaran, meski kewajiban pelayanan tetap berlangsung setiap hari.
Dalam aksi nasional di Jakarta, Apdesi membawa tiga tuntutan keras yang disebut sebagai “harga mati bagi kelangsungan desa”,
1. Cabut PMK 81 Tahun 2025
2. Cabut PMK 49 Tahun 2025 soal pinjaman Koperasi Desa Merah Putih
3. Kembalikan kewenangan desa dalam pengelolaan keuangan berbasis musyawarah desa.
Mirza menegaskan bahwa desa bukan objek kebijakan, melainkan garda terdepan negara dalam pelayanan publik.
“Kami bergerak bukan untuk kepentingan kelompok, tetapi karena desa-desa sudah kehabisan napas. Presiden harus mendengar jeritan ini,” tegasnya.
Dengan rombongan Apdesi Tanggamus telah bergerak ke ibu kota, tekanan terhadap pemerintah pusat kian nyata. Desa-desa menuntut kepastian, dan mereka ingin jawaban langsung dari Presiden. (WAN)

