RSUDAM Klarifikasi Soal Biaya Jenazah, Gepak Lampung : Tak Berperikemanusiaan!

Bandar Lampung BERITA TERKINI Daerah LAMPUNG

Bandar Lampung – Polemik soal dugaan pungutan biaya Rp3 juta terhadap keluarga almarhum Amran Dawiri (60), tukang ojek yang tewas ditabrak kereta Babaranjang di perlintasan Jalan Pemuda, Enggal, pada Sabtu (23/8/2025), terus bergulir.

Jenazah Amran sempat dibawa ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek (RSUDAM). Namun, keluarga mengaku dipersulit dan diminta uang Rp3 juta sebelum jenazah ditangani.

Manajemen RSUDAM buru-buru angkat suara. Mereka menegaskan tidak ada penundaan karena biaya, melainkan karena prosedur hukum.

“Sejak pukul 08.30 jenazah sudah di instalasi forensik. Kami langsung edukasi keluarga soal pentingnya visum dan surat kematian. Tapi proses tidak bisa jalan tanpa surat resmi dari Polresta,” jelas dr. Aberta Carolina, Sp.FM, dokter forensik RSUDAM.

Aberta menegaskan, sesuai aturan Kapolri dan KUHP, jenazah korban kecelakaan lalu lintas adalah barang bukti. Visum baru bisa dilakukan setelah ada permintaan resmi dari kepolisian.

“Setelah surat keluar, visum dilakukan pukul 12.06 hingga 14.00. Pukul 14.40 jenazah dimandikan, dikafani, lalu diserahkan ke keluarga. Semua sesuai Pergub Lampung tentang tarif layanan kesehatan. Tidak ada penundaan karena uang,” tegasnya.

Namun, kesaksian keluarga berbeda jauh. Seorang kerabat yang enggan disebut nama mengaku, pihak rumah sakit meminta Rp3 juta agar jenazah segera ditangani.

“Sejak pukul 07.00 jenazah sudah dibawa ke RS. Tapi sampai 09.30 tidak ada tindakan. Lalu pihak RS minta uang Rp3 juta ke anak korban. Baru setelah uang terkumpul sekitar pukul 11.30, jenazah ditangani,” ungkapnya.

Ia menambahkan, keluarga harus mencari pinjaman terlebih dulu demi memenuhi permintaan tersebut.

“Jenazah baru selesai diproses menjelang Maghrib,” ujarnya.

Gerakan Pembangunan Anti Korupsi (Gepak) Lampung ikut bereaksi keras. Ketua Gepak, Wahyudi, menyebut praktik itu tak manusiawi.

“Bayangkan, keluarga yang sedang berduka masih dipaksa mencari Rp3 juta hanya untuk bisa memakamkan jenazah. Ini kejam,” tegasnya, Selasa (26/8/2025).

Menurut Wahyudi, alasan prosedur yang disampaikan RSUDAM tidak bisa menutup fakta dugaan pemerasan.

“Rumah sakit plat merah harusnya jadi pelayan rakyat, bukan pedagang jenazah. Kalau ini dibiarkan, akan jadi preseden buruk,” pungkasnya.

Hingga kini, polemik belum reda. RSUDAM bersikukuh semua sesuai prosedur hukum, sementara keluarga korban dan Gepak Lampung menuding ada pungutan tidak manusiawi.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar, benarkah ada pungutan Rp3 juta di balik tragedi Amran Dawiri, atau hanya salah paham prosedural?.(*)