Pringsewu — Dugaan korupsi Dana Desa (DD) Pekon Gumukmas, Kecamatan Pagelaran, terus bergulir dan kini memasuki babak baru.
Sejumlah warga mulai angkat bicara, membongkar kejanggalan demi kejanggalan yang selama ini terpendam. Cerita yang muncul bukan hanya soal administrasi yang “tidak rapi”, tetapi dugaan adanya praktik manipulasi proyek hingga klaim sepihak terhadap aset pribadi warga.
Salah satu suara lantang datang dari Santo, warga Dusun 2. Ia merasa haknya diinjak setelah bangunan talud sepanjang 30 meter yang dibangunnya dengan uang pribadi, justru diakui sebagai hasil pekerjaan pemerintah pekon.
“Tidak terimalah, ini saya bangun pakai uang pribadi, kok tiba-tiba mau diakui milik pekon. Ini sama saja yang untung pekon,” ucapnya, Senin (11/8), dengan nada kesal.
Kisah ini bermula ketika Santo membangun talud di dekat rumahnya tanpa bantuan dana desa. Pekerjaan rampung, namun memang tanpa bagian “pecingan” di atasnya. Pada Desember 2024, pihak pekon membuat saluran drainase di seberang jalan. Tidak lama berselang, papan proyek dipasang tepat di talud Santo.
Papan itu memuat informasi resmi—nama kegiatan, volume pekerjaan, hingga nilai anggaran, seakan-akan talud tersebut merupakan bagian dari proyek DD 2024. Bagi Santo, tindakan itu adalah bentuk pengaburan fakta.
Hasil penelusuran Gemalampung.com di lapangan menemukan fakta mencolok. Dalam papan proyek, tercantum volume panjang 66 meter dan lokasi pekerjaan di Dusun 6.
Padahal, posisi talud berada di Dusun 2 dan panjangnya hanya sekitar 30 meter. Selisih data ini memunculkan tanda tanya besar: apakah proyek ini benar-benar ada sesuai dokumen, atau sebagian anggarannya disandarkan pada bangunan milik warga?
Jika benar demikian, maka praktik ini masuk kategori manipulasi fisik dan administrasi yang dapat mengarah pada kegiatan fiktif, salah satu modus yang kerap ditemukan dalam kasus penyalahgunaan Dana Desa.
Upaya konfirmasi dilakukan berulang kali oleh Gemalampung.com kepada Kepala Pekon Gumukmas, Nur Imam Muslim. Sayangnya, bukan jawaban atau klarifikasi yang diterima, melainkan sikap tidak kooperatif. Nomor WhatsApp wartawan justru diblokir oleh sang kepala pekon.
Sikap bungkam ini semakin mempertebal dugaan adanya sesuatu yang tidak beres di balik proyek tersebut. Sebab, dalam kaidah pemerintahan desa yang transparan, setiap pertanyaan publik mestinya dijawab dengan data dan bukti, bukan dengan menghindar.
Praktik klaim sepihak terhadap aset warga dan penyusunan data proyek yang tak sesuai fakta, jika terbukti, bukan sekadar pelanggaran administratif. Modus ini kerap digunakan untuk menutupi penyelewengan anggaran, memanipulasi laporan realisasi, hingga menggelembungkan biaya proyek.
Bagi masyarakat Gumukmas, kasus ini bukan hanya soal talud milik Santo. Mereka khawatir bahwa di balik satu papan proyek, ada rangkaian panjang penyimpangan Dana Desa yang belum terungkap. (*)