PRINGSEWU – Di tengah semangat reformasi birokrasi dan pelayanan publik yang digaungkan pemerintah pusat, sebuah ironi justru terjadi di Pekon Giritunggal, Kecamatan Pagelaran Utara, Kabupaten Pringsewu. Sudah lebih dari empat bulan, Kepala Pekon Rokyat Robani dikabarkan tak pernah terlihat menginjakkan kaki di kantor pekon.
Masyarakat mulai resah. Pelayanan publik lumpuh, dan yang lebih menyakitkan suara rakyat seperti hanya bergaung di lorong kosong, Minggu (27/7/25).
Bukan hanya ketidakhadirannya yang jadi persoalan, namun juga kebiasaan abai yang dianggap telah menjadi pola hidup. Salah seorang warga dari salah satu RT dengan nada kesal menyebut,
“Kami ini kadang cuma butuh tanda tangan atau stempel, tapi harus nunggu berhari-hari. Kadang kami heran, kepala Pekon ini tinggal di mana sebenarnya?, ” keluh salahseorang warga.
Saat dikonfirmasi secara informal oleh media ini, beberapa warga mengaku telah berulangkali mencoba menghubungi sang kepala pekon. Jawabannya pun seragam, ia sedang di Jakarta, Bandar Lampung, atau Kalianda.
Tapi, berdasarkan pengakuan beberapa sumber internal, lokasi sebenarnya tak sejauh itu disebutkan ia kerap berada di rumah istri mudanya, namun tetap tak bisa diandalkan untuk menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat.
Dalam sistem pemerintahan desa, peran kepala pekon (setara kepala desa) sangat vital. Ia adalah ujung tombak pelayanan, pemegang kendali administrasi pemerintahan, dan figur simbolik yang seharusnya dekat dengan warganya. Namun di Giritunggal, kenyataan seperti diputarbalikkan. Kepala Pekon justru menjadi sosok “gaib” ada jabatannya, tapi entah di mana raganya.
Salah satu warga yang mengurus surat tanah menyebut pengalaman getirnya,
“Saya sudah bawa surat lengkap, tinggal tandatangan saja. Tapi kepala Pekonnya susah dicari. Sekretaris pekon juga bingung. Masa iya kami harus ngemis dulu supaya surat kami ditandatangani?, ” kecam warga itu.
Ironi ini bukan sekadar masalah personal. Ini adalah persoalan tata kelola pemerintahan desa yang amburadul. Dalam empat bulan ketidakhadiran Rokyat Robani, tidak ada mekanisme yang jelas untuk menjamin keberlanjutan pelayanan publik. Warga harus menunda pengurusan berkas penting, beberapa bahkan mengaku harus bolak-balik kantor pekon hingga lima kali hanya untuk mengurus satu surat rekomendasi.
Ketika pemimpin desa abai, yang paling pertama merasakan dampaknya adalah rakyat kecil. Tidak bisa mengurus surat pengantar rumah sakit, tertahan urusan jual beli tanah, bahkan penyaluran bantuan sosial pun menjadi lambat karena tidak adanya otorisasi dari kepala pekon.
Salah satu ibu rumah tangga yang enggan disebut namanya menyebut, “Pak Rokyat mungkin lupa, yang dipimpinnya ini manusia, bukan batu. Kami perlu pelayanan, bukan alasan.” Keluhnya dengan nada kesal.
Kondisi ini juga menciptakan ketimpangan administratif. Tanpa kepala pekon, banyak keputusan tidak bisa diambil. Berkas-berkas tertumpuk, staf pekon bekerja dalam posisi serba salah, dan warga pun kehilangan kepercayaan terhadap lembaga pemerintahan paling dasar.
Ketiadaan kepala pekon selama berbulan-bulan bukan hanya menjadi urusan internal pekon. Ini adalah alarm keras bagi pemerintah kecamatan dan kabupaten. Apakah sistem pengawasan berjalan? Apakah evaluasi kinerja kepala desa dilakukan secara periodik? Bila kepala pekon terus-menerus absen tanpa sanksi, lalu apa bedanya negara ini dengan panggung sandiwara?
Sudah saatnya inspektorat kabupaten atau Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pekon turun langsung ke lapangan, melakukan evaluasi menyeluruh, termasuk membuka kanal pelaporan bagi masyarakat. Tidak bisa dibiarkan pelayanan publik tersandera oleh gaya hidup pribadi seorang pejabat desa.
Rakyat tidak butuh pemimpin yang banyak dalih, tetapi pemimpin yang hadir dan bekerja. Jika Rokyat Robani tidak mampu menjalankan tugasnya secara penuh dan konsisten, maka opsi pengunduran diri atau pemberhentian semestinya tidak menjadi hal yang tabu untuk dipertimbangkan. (Tim/Red)