Kedatangan Menteri ATR/BPN ke Lampung Tidak Menjawab Kegagalan Negara Selesaikan Konflik Agraria di Anak Tuha

Berita Indonesia BERITA TERKINI Daerah LAMPUNG

Lampung – Kedatangan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid ke Lampung pada Juli 2025 kembali menunjukkan potret kegagalan negara dalam menyelesaikan konflik agraria yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Salah satu konflik yang paling mencolok dan belum terselesaikan hingga hari ini adalah konflik masyarakat tiga kampung (Kampung Bumi Aji, Kampung Nehara Aji tua, Kampung Negara Ajir Baru) Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah dengan PT Bumi Sentosa Abadi PT BSA).

Kehadiran Menteri ATR/BPN di Lampung tanpa membawa langkah konkret terhadap penyelesaian konflik di Anak Tuha mencerminkan pendekatan simbolik yang jauh dari keadilan substantif. Menteri seharusnya tidak hanya datang meresmikan program-program legalisasi aset atau menyampaikan pidato seremonial, tetapi juga hadir secara langsung di titik-titik konflik agraria kronis untuk mendengar suara korban dan mendorong penyelesaian yang tuntas.

Sejak pertemuan antara Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, dengan Gubernur Lampung pada akhir Juli 2025, pemerintah pusat kembali menyoroti ketidakpatuhan sejumlah korporasi pemegang HGU di Lampung dalam memenuhi ketentuan menyediakan minimal 20 % lahan plasma untuk petani lokal.

Pernyataan tegas tersebut mencerminkan kegagalan dalam implementasi kebijakan agraria yang telah diamanatkan dalam UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria serta ketentuan pelaksanaannya. Sebagai daerah yang menjadi episentrum konflik agraria, kasus Anak Tuha, Lampung Tengah, menjadi simbol kegagalan tata kelola agraria negara.

Di wilayah ini, masyarakat dari tiga kampung Negara Aji Tua, Negara Aji Baru, dan Bumi Aji telah lama menggarap lahan tersebut sebelum terbit Hak Guna Usaha miliki perusahaan. Namun sejak tahun 1972, lahan mereka perlahan dialihkelola oleh korporasi: PT Chandra Bumi Kota, hingga akhirnya PT Bumi Sentosa Abadi (BSA) mulai mengklaim HGU atas sekitar 807 hingga 955 hektare.

Ironisnya, walaupun PT BSA mengklaim hampir 1.000 ha, pada sebelum tahun 2022 yang dikelola dan ditanami hanya sekitar 60–65 ha sawit, sementara sisanya dikuasai oleh petani penggarap yang telah kembali menguasai lahan sejak 2014. Gugatan dari masyarakat pun ditolak dengan alasan cacat formil menandakan bahwa ranah hukum gagal memberikan keadilan substantif. Kemudian, HGU yang diklaim PT BSA dan dikeluarkan oleh negara tidak pernah melibatkan meaningful participation. Tak ada proses dialog yang bermakna dan dianggap tak ada pengakuan atas eksistensi penggarapan rakyat. Negara dalam hal ini melalui Badan Pertanahan Nasional dan jaringan birokrasi daerah secara sepihak mengakui dan melegitimasi kepemilikan perusahaan atas tanah yang sejatinya dikelola oleh rakyat. Di sinilah akar dari krisis yang berlangsung hingga hari ini.

Pada September 2023, kekerasan eskalatif terjadi: aparat gabungan bersama PT BSA menggelar penggusuran paksa, mengerahkan sampai 1.500 personel TNI, Polri, dan Satpol PP, meratakan lahan, menangkap dan mengkriminalisasi warga termasuk 7 orang yang dianggap subjek provokasi perlawanan. Eksekusi ini bukan hanya menunjukkan keberpihakan telanjang negara kepada perusahaan, tetapi juga mempertontonkan brutalitas struktural terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya. Warga mengalami intimidasi, pemanggilan, hingga penahanan. Aparat bersenjata mengelilingi kampung-kampung, patroli dilakukan setiap hari, dan rasa takut menjadi hantu baru di tanah yang dahulu menjadi tempat hidup yang damai. Disinilah kesan negara semakin terlihat bahwa kerapkali keadlian substantif sangat sulit untuk di gapai masyarakat rentan termasuk para petani kecil yang ada di tiga kampung kecamatan anak tuha. Dalam proses inilah tampak bahwa negara telah kalah dengan korporasi yang dianggap bagian dari oligarki.

Hingga saat ini masyarakat tiga kampung tetap kukuh terhadap pendiriannya untuk meminta agar HGU PT BSA dicabut, lahan seluas ha dikembalikan ke rakyat, dan proses mediasi disertai keadilan hukum bukan represi di Loteng Lampung Tengah. Sejak April 2025, aksi damai beranggotakan sekitar 500–700 orang dari tiga kampung berlangsung di Kantor Bupati dan DPRD Lampung Tengah, disertai tuntutan pembentukan pansus agraria, evaluasi legalitas HGU, pembebasan petani yang ditahan, dan penarikan polisi dari lahan sengketa.

LBH Bandar Lampung mendampingi masyarakat untuk mengajukan desakan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) penyelesaian konflik agraria, serta mendesak pencabutan HGU PT BSA yang cacat secara legal dan etis. Namun respons negara tetap pasif. Janji pertemuan, audiensi, dan mediasi yang dikemukakan oleh pemerintah daerah hingga kini tidak menunjukkan perubahan mendasar terhadap struktur kepemilikan lahan yang timpang tersebut.

Narasi ini membenturkan dua realitas: satu sisi wakil rakyat di tingkat pusat dan provinsi menyerukan evaluasi HGU dan teguran ke korporasi yang tidak menepati kewajiban plasma; di sisi lain, pemerintah daerah tampak lambat membuka ruang dialog inklusif dan menghukum ketidakadilan kronis yang terjadi terhadap konflik agraria di Kecamatan Anak Tuha. Ketimpangan ini menegaskan bahwa reforma agraria bukan sekadar soal lahan tetapi pertarungan antara “hukum administratif” dan keadilan substantif bagi masyarakat adat dan petani kecil.

LBH Bandar Lampung memandang bahwa konflik agraria ini tidak dapat dipandang semata sebagai persoalan sengketa kepemilikan lahan antara perusahaan dan warga. Ini adalah manifestasi dari struktur kekuasaan yang timpang, di mana negara lebih banyak berfungsi sebagai alat pemulus ekspansi kapital dibanding sebagai penjamin keadilan.

Momentum kedatangan Nusron Wahid di Lampung seharusnya menjadi titik balik reformasi agraria yang berpihak. Ketika perusahaan yang gagal menyediakan kewajiban 20 % plasma tetap mendapatkan perpanjangan HGU, maka legitimasi kebijakan agraria dipertanyakan. Maka, penyelesaian konflik agraria di Anak Tuha bisa menjadi laboratorium perubahan: mediasi terbuka, audit lapangan partisipatif, dan pencabutan HGU yang terbukti cacat hukum atau mengabaikan hak masyarakat lokal.

Karena tanpa lompatan struktural tersebut, kunjungan pejabat tinggi hanya akan menjadi simbol kosong. Rakyat tidak sekadar butuh kebijakan administratif, mereka butuh keadilan riil atas tanah, penghidupan, dan masa depan yang telah diyakini secara turun-temurun.

Sumaindra Jarwadi
Direktur LBH Bandar Lampung