Bandar Lampung – Kami memandang bahwa respon Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Lampung dan beberapa Anggota DPRD Provinsi Lampung terhadap maraknya pengibaran bendera fiksi dari serial anime One Piece menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus adalah bentuk respons yang berlebihan dan tidak proporsional. Pengibaran bendera “Jolly Roger” — simbol dari kelompok bajak laut dalam cerita fiksi — yang kemudian dianggap sebagai tindakan yang menggerus nilai-nilai kebangsaan serta tidak menghargai jasa para pahlawan, mencerminkan kegagapan pejabat publik dalam memahami dinamika ekspresi sosial masyarakat.
Alih-alih melihat fenomena ini sebagai bentuk keresahan sosial atau kritik simbolik terhadap situasi bangsa saat ini, para pejabat justru menyikapinya secara kaku dan cenderung otoriter. Tanggapan tersebut menjadi berbahaya karena mempersempit ruang kebebasan berekspresi warga negara dan mencerminkan mentalitas kekuasaan yang defensif terhadap ekspresi publik yang tidak konvensional.
Perlu dipahami bahwa dalam narasi One Piece, bendera “Jolly Roger” justru menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, tirani, kekuasaan yang korup, serta menjadi lambang solidaritas dan persahabatan. Oleh karena itu, ekspresi pengibaran bendera ini lebih tepat dimaknai sebagai kritik sosial yang kreatif, bukan sebagai bentuk perlawanan terhadap negara atau simbol kebencian terhadap nilai-nilai kebangsaan.
Kita dapat belajar dari teladan Presiden keempat Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dengan bijak dan santai menyikapi ekspresi masyarakat, bahkan ketika menyangkut hal yang lebih sensitif seperti pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua. Gus Dur memilih untuk melihatnya sebagai bentuk ekspresi identitas kultural, bukan ancaman terhadap integritas negara.
Dalam konteks hukum, tidak ada pelanggaran yang dilakukan selama bendera fiksi tersebut tidak merendahkan, menggantikan, atau menghina Bendera Merah Putih sebagai simbol resmi negara. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan secara jelas mengatur larangan penghinaan terhadap Bendera Merah Putih, namun tidak melarang pengibaran simbol-simbol non-negara dalam konteks ekspresi pribadi maupun sosial, selama tidak bertentangan dengan nilai hukum dan etika publik.
Sebagaimana amanat konstitusi dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, maka tindakan ekspresif seperti pengibaran bendera fiksi tidak sepatutnya direspons dengan pendekatan yang represif atau ancaman pidana. Pemerintah dan aparat negara semestinya lebih bijak, dan membuka ruang dialog untuk memahami aspirasi masyarakat, bukan malah menutup ruang kritik yang sah dan dilindungi hukum.
Penolakan terhadap bentuk-bentuk kritik simbolik semacam ini justru memperdalam ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara, dan semakin menjauhkan warga dari semangat demokrasi yang sehat dan inklusif.
Kami mengimbau agar pemerintah daerah dan para pejabat publik menanggapi fenomena ini dengan pendekatan yang lebih terbuka, reflektif, dan konstitusional, bukan dengan sikap yang represif, reaksioner, dan antikritik.