Pesawaran – Pengelolaan persediaan obat dan barang medis habis pakai (BMHP) di RSUD Pesawaran terungkap amburadul.
Alih-alih mendukung pelayanan kesehatan yang efisien, penerapan Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS) Khanza justru hanya jadi formalitas tanpa fungsi nyata.
Laporan per 31 Desember 2024 mencatat saldo akhir persediaan obat dan BMHP Rp1,57 miliar, anjlok Rp296,7 juta (15,82%) dari tahun sebelumnya.
Namun penurunan itu tak bisa ditelusuri dengan jelas karena pencatatan persediaan kacau-balau.
BPK menemukan indikasi ketidaktertiban serius, obat yang diresepkan tidak sama dengan yang diberikan. Pasien menerima obat pengganti tanpa pencatatan yang valid di SIMRS, misalnya infus Weda Hes 500 ml diganti Volulite.
Data billing SIMRS berbeda dengan realisasi obat. Masih ada resep manual di luar sistem, membuka peluang manipulasi dan kebocoran anggaran obat.
Kondisi ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bukti pengawasan yang lemah dari Direktur RSUD Pesawaran. Kepala Instalasi Farmasi juga dinilai lalai mengoptimalkan SIMRS, sementara pengurus barang tidak disiplin mencatat keluar-masuk stok obat.
Padahal, tujuan penerapan SIMRS jelas, meningkatkan efisiensi, profesionalisme, akurasi data, serta transparansi layanan rumah sakit. Fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya, SIMRS lumpuh, pasien dirugikan, dan potensi kebocoran anggaran terbuka lebar.
BPK merekomendasikan langkah keras kepada Bupati Pesawaran, memperintahkan Direktur RSUD menertibkan pengelolaan obat, mewajibkan penggunaan SIMRS dalam setiap transaksi, dan mendisiplinkan pengurus barang.
Namun pertanyaan publik kini lebih tajam: Apakah Bupati Pesawaran berani menindak tegas bawahannya, atau justru membiarkan kekacauan stok obat ini terus berulang. (Red)