PRINGSEWU — Wartawan Davit Segara memastikan akan melaporkan media online Goresan Pena Jurnalis ke Dewan Pers. Langkah ini diambil menyusul terbitnya pemberitaan berjudul “Diduga Oknum Wartawan Membekingi Galian C di Kabupaten Pringsewu” yang menuding dirinya terlibat dalam aktivitas tambang ilegal tanpa didukung konfirmasi dan verifikasi yang memadai.
Menurut Davit, pemberitaan tersebut tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga merugikan martabat profesi wartawan, karena dilakukan tanpa standar kerja jurnalistik yang benar.
“Saya tidak pernah dikonfirmasi oleh penulis berita. Tidak ada upaya wawancara atau klarifikasi sebelum berita itu dinaikkan,” ujar Davit di Pringsewu, Senin (7/10/2025).
Davit menjelaskan, lokasi yang menjadi perdebatan itu berada tidak jauh dari rumahnya di wilayah Pagelaran Utara, Pringsewu. Ia mengaku merasa terpanggil secara moral karena banyak warga sekitar yang datang meminta bantuan untuk menjelaskan situasi sebenarnya.
“Sebagai wartawan dan warga di sekitar situ, saya mendengar langsung keresahan masyarakat. Mereka adalah pelaku usaha cetak sawah yang selama ini disalahartikan seolah-olah menambang secara ilegal,” kata Davit.
Menurutnya, aktivitas tersebut sejatinya bukan tambang, melainkan kegiatan cetak sawah. Tanah yang dihasilkan dari proses itu tidak dijual secara komersial, tetapi dimanfaatkan oleh para pengrajin batu bata dan genteng sebagai bahan baku utama produksi.
“Kalau aktivitas itu dihentikan karena salah paham, ribuan warga yang bekerja sebagai pengrajin batu bata dan genteng akan kehilangan mata pencaharian. Ini bukan soal bisnis besar, tapi soal perut masyarakat kecil,” ujarnya.
Namun, niat Davit menjembatani masyarakat justru ditafsirkan berbeda. Dalam pemberitaan Goresan Pena Jurnalis, ia disebut sebagai “oknum wartawan yang membekingi tambang ilegal.”
“Ini bentuk pelanggaran berat terhadap kode etik jurnalistik. Wartawan seharusnya melakukan konfirmasi sebelum menulis, bukan langsung menuding,” tegas Davit.
Ia bahkan menyebut penulisan seperti itu sebagai bentuk “dagelan jurnalistik” yang ia gunakan untuk menggambarkan karya jurnalistik yang jauh dari disiplin verifikasi, tidak mengedepankan etika, dan tidak berpegang pada kebenaran faktual.
“Menulis berita itu tanggung jawab moral, bukan permainan opini. Kalau berita dibuat tanpa data, tanpa konfirmasi, itu bukan jurnalisme, itu fitnah,” ujarnya.
Berdasarkan penelusuran Davit, penulis berita tersebut belum pernah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) berdasarkan data resmi Dewan Pers.
“Saya sudah periksa langsung. Namanya tidak ada dalam daftar wartawan berkompeten. Jadi secara profesional, yang bersangkutan belum diakui sebagai wartawan kompeten,” tegasnya.
Lebih jauh, media tempat berita itu tayang juga tidak mencantumkan boks redaksi, alamat kantor, dan nama penanggung jawab. Padahal, unsur-unsur tersebut merupakan syarat wajib bagi setiap perusahaan pers sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers.
“Media itu tidak jelas asalnya, tidak mencantumkan struktur redaksi, dan tidak punya alamat kantor. Dari situ saja sudah tampak bahwa media tersebut tidak memenuhi standar. Bahkan ada dugaan, media itu dibuat dan dikelola sendiri oleh si penulis berita untuk kepentingan pribadi,” kata Davit.
Menurutnya, situasi ini berbahaya karena membuka peluang penyalahgunaan ruang publik.
“Kalau media digunakan sebagai alat pribadi untuk menyerang individu, maka yang rusak bukan hanya reputasi seseorang, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap dunia pers,” ujarnya.
Atas dasar itu, Davit memastikan akan melaporkan media dan penulis berita tersebut ke Dewan Pers. Ia berharap lembaga tersebut dapat menilai secara objektif dan memberikan sanksi etik bila terbukti terjadi pelanggaran serius.
“Ini bukan soal nama pribadi, tapi soal tanggung jawab menjaga marwah profesi wartawan. Jangan sampai ada oknum yang seenaknya menulis dan mencoreng profesi yang seharusnya mulia,” katanya.
Davit menegaskan, kebebasan pers bukanlah kebebasan tanpa batas. Ia menilai setiap karya jurnalistik harus disertai tanggung jawab moral dan akal sehat.
“Pers yang bebas itu harus juga beradab. Jangan sampai kebebasan digunakan untuk menganiaya karakter seseorang atau menghancurkan sumber ekonomi warga,” ujar wartawan yang telah lulus UKW dan tercatat di Dewan Pers itu.
Menurut Davit, masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar, bukan tuduhan sepihak.
“Saya berdiri di tengah masyarakat, bukan di balik kepentingan siapa pun. Ketika warga kecil seperti pengrajin batu bata dan genteng terancam kehilangan pekerjaan, hati nurani saya sebagai jurnalis terpanggil,” pungkasnya. (*)