Impor Pejabat atau Kegagalan Kaderisasi, Potret Baru Birokrasi Pringsewu

LAMPUNG Opini Pringsewu

Oleh : Redaksi

Pringsewu – Pelantikan sepuluh pejabat pimpinan tinggi pratama di Kabupaten Pringsewu pada Senin (29/12/25) menyisakan tanda tanya besar. Bukan soal siapa yang dilantik, melainkan dari mana mereka berasal. Fakta bahwa lima dari sepuluh pejabat eselon II diisi figur dari luar daerah bukan detail kecil, ini adalah sinyal politik birokrasi yang tak bisa diabaikan.

Pertanyaan paling telanjang pun muncul, apakah Pemerintah Kabupaten Pringsewu benar-benar miskin kader, atau sedang sengaja “meminggirkan” ASN internalnya sendiri.

Jika alasannya kekurangan SDM berkualitas, maka itu merupakan pengakuan kegagalan kolektif para pengelola kepegawaian selama bertahun-tahun. Bagaimana mungkin sebuah kabupaten yang sudah belasan tahun berdiri, dengan ribuan ASN aktif, justru harus mengimpor separuh pimpinan strategisnya dari luar, Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi tamparan keras bagi sistem merit dan pembinaan karier ASN Pringsewu.

Namun jika stok pejabat internal sebenarnya ada, lalu sengaja disisihkan, maka pelantikan ini masuk wilayah keputusan politis yang beraroma sentralisasi kekuasaan. Pejabat dari luar kerap dianggap lebih “netral”, lebih “aman”, dan lebih mudah dikendalikan karena tidak memiliki basis emosional maupun jejaring lokal. Dalam konteks ini, birokrasi berpotensi diperlakukan bukan sebagai instrumen pelayanan publik, melainkan alat stabilisasi kekuasaan.

Dampaknya tidak main-main. ASN internal yang bertahun-tahun mengabdi akan merasa dibonsai secara struktural. Karier macet bukan karena kompetensi, tetapi karena tidak masuk lingkaran kepercayaan. Ketika itu terjadi, loyalitas birokrasi bergeser dari profesionalisme menuju kepentingan, dan kultur kerja berubah dari prestasi menjadi kepatuhan.

Lebih ironis lagi, pemerintah selalu menjual narasi “penyegaran” dan “percepatan kinerja”, tanpa pernah membuka peta kompetensi, skor uji kelayakan, atau alasan objektif mengapa ASN internal kalah bersaing. Transparansi seolah berhenti di meja pelantikan. Publik disuguhi hasil akhir, bukan proses.

Maka publik berhak curiga: apakah ini benar soal kinerja, atau soal kendali? Apakah Pringsewu sedang membangun birokrasi profesional, atau justru sedang menata ulang barisan kekuasaan pasca-konsolidasi politik.

Pelantikan ini akan menjadi ujian serius bagi pemerintahan saat ini. Jika pejabat dari luar gagal memahami persoalan lokal dan tidak membawa lompatan kinerja, maka keputusan ini bukan hanya keliru, melainkan mengkhianati potensi ASN Pringsewu sendiri.

Di titik ini, satu hal jelas, setengah dari luar bukan kebetulan. Ia adalah pilihan sadar, dan setiap pilihan sadar harus siap dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada aturan, tetapi kepada publik dan sejarah pemerintahan daerah. (*)