Pringsewu – Kejaksaan Negeri Pringsewu kembali menggunakan mekanisme Restorative Justice (RJ) untuk menghentikan penuntutan dua perkara pidana. Keputusan ini diumumkan setelah pada 8 dan 9 September 2025, dua tersangka yang terjerat kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan penganiayaan resmi terbebas dari meja hijau karena adanya perdamaian.
Namun, langkah ini tak lepas dari sorotan publik. Di satu sisi, RJ dianggap memberi ruang penyelesaian yang lebih humanis, di sisi lain muncul kekhawatiran bahwa keadilan bisa berhenti di meja damai dan berisiko dimanfaatkan pihak tertentu.
Tersangka S (57), seorang buruh asal Pringsewu, sejatinya terancam pidana maksimal 5 tahun berdasarkan UU Penghapusan KDRT. Perkaranya berawal dari konflik rumah tangga yang dipicu persoalan emosional dan tekanan ekonomi.
Meski unsur pidana dinyatakan terpenuhi, perkara dihentikan setelah S dan istrinya sepakat berdamai pada 19 Agustus 2025, disaksikan aparat dan tokoh masyarakat.
Pertanyaan muncul, apakah perdamaian cukup untuk menjamin tidak terulangnya KDRT di kemudian hari.
Kasus lain menimpa W (26), petani, yang terlibat perkelahian pada 21 Juni 2025 hingga menyebabkan korban luka. W seharusnya dijerat Pasal 351 KUHP, namun perkaranya juga dihentikan lewat RJ.
Damai tercapai setelah W bersedia membayar Rp15 juta sebagai biaya pengobatan korban, yang dilunasi pada 29 Agustus 2025.
Pertanyaan lain mengemuka, apakah dengan nominal ganti rugi, luka korban benar-benar terobati dan keadilan terpenuhi.
Plh. Kepala Kejari Pringsewu, Asep Sunarsa, S.H., M.H., menegaskan RJ hanya diterapkan secara selektif dengan mengacu pada Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020.
“Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukuman di bawah lima tahun, dan perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa rekayasa,” jelasnya.
Kejari menyebut, RJ bertujuan memulihkan hubungan sosial, memberi kesempatan pelaku memperbaiki diri, sekaligus melindungi korban. Tetapi di lapangan, publik masih menyimpan tanda tanya besar.
Apakah RJ benar-benar memberi rasa keadilan bagi korban, atau justru menjadi jalan pintas bagi pelaku untuk lolos jerat hukum. Bagaimana memastikan perdamaian terjadi tanpa tekanan atau kompromi tersembunyi. Siapa yang menjamin pelaku tidak mengulangi perbuatannya setelah bebas dari proses hukum.
Keputusan Kejari Pringsewu ini bisa dibaca dari dua sisi. Positif, karena mencegah kriminalisasi berlebihan dan membuka ruang rekonsiliasi sosial. Negatif, karena bisa memberi preseden buruk, kejahatan ringan bisa “ditebus” dengan uang atau sekadar surat perdamaian.
Publik kini menunggu, apakah RJ benar-benar menjadi wajah baru hukum yang humanis, atau sekadar “pintu darurat” bagi pelaku pidana. (*)