Lampung Timur — LBH Bandar Lampung bersama perwakilan warga dari 8 desa di Kabupaten Lampung Timur melakukan pertemuan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur di Kantor Kecamatan Bandar Sribhawono, Senin (21/7/25).
Pertemuan ini merupakan bagian dari upaya masyarakat mendorong tindak lanjut atas dugaan mafia tanah yang merampas lahan garapan mereka.
Sayangnya, Pemkab Lampung Timur hanya diwakili oleh Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Bapak Ahmad Zainudin. Dalam forum tersebut, masyarakat kembali mempertanyakan kejelasan nasib 418 KK di Desa Wana yang terancam kehilangan 401 hektar tanah garapan, sumber penghidupan mereka.
Namun sangat mengecewakan, permintaan untuk membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria tidak dijawab tegas oleh Asisten I. Padahal masyarakat berharap Pemkab turut aktif, tidak hanya mendorong proses hukum, tapi juga terlibat langsung menyelesaikan konflik agraria ini.
Sebagaimana amanat Pasal 66 Perpres No. 62 Tahun 2023, setiap kepala daerah wajib membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria untuk mempercepat penyelesaian konflik di wilayahnya. Bahkan, Pemprov Lampung sudah terlebih dahulu menindaklanjuti hal ini melalui SK Gubernur No. G/238/B.02/HK/2025. Artinya, tidak ada alasan bagi Pemkab Lampung Timur untuk menunda pembentukan tim tersebut.
Selain bertemu dengan perwakilan Pemkab, masyarakat juga mendatangi BPN Lampung Timur. Dalam pertemuan tersebut, warga mempertanyakan komitmen BPN dalam mendukung penegakan hukum atas dugaan praktik mafia tanah.
Lagi-lagi, respons yang diterima sangat mengecewakan. BPN berdalih belum bisa menyerahkan dokumen penyelidikan kepada Polda Lampung karena alasan teknis dan menunggu persetujuan Kanwil. Lebih parah lagi, Kepala Kantor BPN telah berganti tiga kali sejak kasus ini mencuat, seolah menjadi penghambat penuntasan kasus.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran yang besar di masyarakat. Di tengah ketidakpastian, warga terus berupaya menjaga stabilitas dan mencegah konflik horizontal, sembari tetap mempertahankan lahan mereka.
Namun kondisi di lapangan kian memanas. Beberapa warga memergoki orang tak dikenal diduga dari salah satu bank BUMN yang memasuki lahan dan mencari lokasi tanah agunan pinjaman. Setelah dikonfirmasi, diketahui bahwa lahan tersebut telah dijadikan jaminan oleh oknum yang menguasai 177 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diduga terbit secara ilegal.
Ini adalah alarm keras. Lahan yang menjadi tumpuan hidup lebih dari 2.000 jiwa kini terancam disita oleh bank. Maka, tidak ada alasan bagi Pemda dan BPN untuk diam, apalagi bersikap setengah hati dalam menyelesaikan konflik ini.
Masyarakat Lampung Timur yang mayoritas berprofesi sebagai petani berhak mendapatkan kepastian hukum atas tanah mereka. Penyelesaian konflik agraria dan pengungkapan mafia tanah tidak hanya menyelamatkan hak petani, tapi juga selaras dengan agenda nasional Presiden dalam memperkuat ketahanan pangan. Petani tidak boleh terus menjadi korban ketidakadilan dalam penguasaan tanah.
Kami mendesak Pemkab Lampung Timur dan BPN segera:
Membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria di tingkat Kabupaten,
Menyerahkan dokumen pendukung penyelidikan ke aparat penegak hukum, dan
Mengambil tindakan nyata melindungi hak-hak rakyat kecil.
Prabowo Pamungkas
Kepala Divisi Advokasi
LBH Bandar Lampung