Kepala Daerah di Era Kamera 

Opini

Opini – Di zaman sekarang, tampaknya menjadi kepala daerah bukan hanya soal memimpin, tetapi juga soal “mengelola brand pribadi.”

Tidak sedikit pemimpin yang sibuk mengatur angle kamera ketimbang mengatur nasib rakyatnya. Rambut disisir rapi, jas disetrika sempurna, lalu tersenyum tipis di depan lensa, seolah-olah itu bagian dari tugas konstitusional.

Padahal, rakyat tidak butuh video “slow motion” ketika kepala daerah turun ke pasar sambil membagikan senyum.

Mereka butuh harga bahan pokok yang turun, lapangan kerja yang terbuka, dan jalan yang tidak berlobang. Tapi apa daya, kamera kadang lebih akrab daripada rakyat itu sendiri.

Lebih ironis lagi, ada yang meniru gaya kepala daerah lain yang kebetulan viral di media sosial. Mulai dari cara berbicara, gesture tangan, hingga format vlog kunjungan lapangan.

Seolah-olah kepemimpinan itu bisa digandakan lewat copy-paste gaya orang lain. Hasilnya? Hanya replika murahan, yang viral sebentar, lalu hilang bersama notifikasi di ponsel rakyat.

Kemajuan daerah tidak lahir dari banyaknya likes dan views. Ia lahir dari keputusan yang berani, kebijakan yang berpihak, dan ketulusan yang konsisten.

Pemimpin sejati tidak sibuk mencari cahaya kamera, karena ia tahu, cahaya dari kerja nyatalah yang akan menerangi namanya.

Sayangnya, sebagian rakyat kini hanya bisa geleng-geleng kepala, atau mungkin menutup wajah saat melihat gaya pemimpinnya.

Bukan karena bangga, tapi karena malu. Dan malu itu, sayangnya, tidak bisa diedit atau diberi filter supaya terlihat lebih indah. (*)