Pringsewu – Kunjungan Komisi IV DPRD Pringsewu ke Ummika Resto pada Jumat (16/5/2025) yang awalnya diharapkan menjadi langkah tegas atas dugaan eksploitasi tenaga kerja dan pelanggaran perizinan, justru berakhir seperti acara silaturahmi penuh senyum dan basa-basi. Alih-alih menggugah keadilan, sidak ini lebih terasa seperti forum diskusi ringan yang penuh empati kepada pengusaha.
Ketua Komisi IV, Agus Irwanto, memang menyampaikan ultimatum kepada pihak manajemen Ummika agar segera melengkapi perizinan dalam waktu tiga bulan. Namun, kata “ultimatum” tampaknya terlalu mewah untuk disematkan pada pernyataan yang lebih mirip permintaan tolong.
“Mereka sudah punya NIB, AHU, dan sertifikat halal. Tinggal melengkapi izin dari Disporapar dan lingkungan hidup. Kami kasih waktu tiga bulan,” ujar Agus. Tidak terdengar satu pun ancaman sanksi atau tindakan hukum bagi pelanggaran yang telah berlangsung dua tahun ini.
Padahal, fakta yang beredar jelas menunjukkan dugaan pelanggaran hak tenaga kerja: penahanan KTP, gaji tidak dibayar, tekanan verbal, dan absennya perjanjian kerja tertulis. Tapi saat diberi kesempatan menjawab, owner Ummika cukup berkata bahwa semua karyawan sepakat secara lisan dan bahwa gaji akan dibayarkan setelah kewajiban mereka terpenuhi.
Dan di sinilah klimaks ironi itu terjadi.
DPRD justru menyarankan para korban mantan karyawan yang merasa dirugikan untuk datang sendiri ke pihak Ummika untuk menyelesaikan masalah. Sebuah sikap yang tak hanya lepas tangan, tapi juga berbahaya. Karena seharusnya, pengaduan korban dibela, bukan disuruh negosiasi sendiri ke pihak yang diduga menindas mereka.
Pengawasan? Nihil. Tindakan? Tidak ada. Simpati? Salah alamat.
Masyarakat pun geram. Harapan bahwa DPRD bisa menjadi wakil rakyat yang berdiri tegak di atas hukum pupus di tengah meja panjang pertemuan yang lebih mirip forum curhat pengusaha. Tidak ada investigasi lapangan, tidak ada pemanggilan formal, tidak ada rekomendasi hukum. Hanya obrolan hangat yang dibumbui permakluman demi kasihan, mereka masih belajar usaha.
Kalau begini caranya, maka jelas DPRD bukan gagal menindak tapi memilih untuk tidak bertindak.
Ketika rakyat sudah bicara, korban sudah bersuara, dan media sosial telah ramai namun dewan hanya hadir untuk mendengarkan versi satu pihak dan memberikan waktu tambahan, maka sah disebut: ini bukan sidak, ini silaturahmi.
Dan jika ini terus berulang, DPRD Pringsewu harus bersiap dicatat sebagai bagian dari masalah, bukan solusi. Karena rakyat tidak butuh wakil yang duduk manis rakyat butuh keberpihakan nyata. (Red)